METODE-METODE PEMBELAJARAN


A. PEMBELAJARAN DENGAN METODE SAINTIFIK
Metode saintifik merupakan metode yang biasa digunakan oleh para ilmuwan dalam menemukan pengetahuan/teori/konsep. Dalam konteks pembelajaran, metode saintifik sangat penting digunakan untuk mengembangkan cara-cara berpikir dan bekerja secara ilmiah.
Berdasarkan definisi metode saintifik, dapat dirumuskan pengertian Pembelajaran dengan Metode Saintifik sebagai metode pembelajaran yang didasarkan pada proses keilmuan yang terdiri dari merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, dan menarik simpulan (L.R. Gay, Geoffrey E. Mills; dan Peter Airasian (2012: 6).
Pembelajaran dengan pendekatan saintifik dapat juga dipahami sebagai pembelajaran yang terdiri atas kegiatan mengamati (untuk mengidentifikasi hal-hal yang ingin/perlu diketahui), menanya/merumuskan pertanyaan, mengumpulkan informasi dengan satu atau lebih teknik, menalar/mengasosiasi (menggunakan data/informasi untuk menjawab pertanyaan/menarik kesimpulan), dan mengomunikasikan jawaban/kesimpulan. Langkah-langkah tersebut dapat dilanjutkan dengan kegiatan mencipta.

B. INQUIRY/DISCOVER Y LEARNING
Kendati sama-sama mengatur proses pembelajaran, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 103 Tahun 2014 berbeda dengan Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 dalam hal penyebutan metode pembelajaran inquiry dan discovery. Pada Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014 keduanya disebutkan secara eksplisit terpisah, Discovery Learning dan Inquiry Learning. Namun dalam Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016, keduanya disebut secara bersamaan sebagai berikut: ”Untuk memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik antar-matapelajaran), dan tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian(discovery/inquiry learning).
Jika dibandingkan penyebutannya, dalam buku-buku teks (misalnya Sutman et.al., 2010) dan tulisan-tulisan di jurnal terbitan luar negeri menuliskannya persis terbalik, yakni inquiry/discovery atau penelitian/penyingkapan. Mengapa? Dalam Webster’s Collegiate Dictionary inquiry didefinisikan sebagai “bertanya tentang” atau “mencari informasi dengan cara bertanya”, sedangkan dalam kamus American Heritage, discovery disebut sebagai “tindakan menemukan”, atau “sesuatu yang ditemukan lewat suatu tindakan”. Jadi, pembelajaran ini memiliki dua proses utama. Pertama, melibatkan siswa dalam mengajukan atau merumuskan pertanyaan-pertanyaan (to inquire), dan kedua, siswa menyingkap, menemukan (to discover) jawaban atas pertanyaan mereka melalui serangkaian kegiatan penyelidikan dan kegiatan-kegiatan sejenis (Sutman, et.al., 2008:x). Dalam kegiatan ini siswa memperoleh pengalaman berharga dalam praksis keilmuan seperti proses mengamati, mengumpulkan data, menganalisis hasil, dan menarik simpulan.
Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa penggunaan terma inquiry/discovery bukan discovery/inquiry - dipandang sebagai catatan pengingat bagi guru untuk selalu meningkatkan keterlibatan siswa pada kedua proses tersebut secara saling melengkapi. Kegiatan ini dimulai dari merumuskan pertanyaan (inquiry) dan dilanjutkan dengan kegiatan menemukan atau menyingkap jawaban (discovery).

C. PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM-BASED LEARNING)
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) pada awalnya dipergunakan pada Program Studi Kedokteran di Mc Master University Canada (sekitar tahun 1960). PBM dipraktikkan pada mahasiswa kedokteran yang sedang praktik, yang dituntut untuk bisa membantu dan menemukan solusi untuk menyelesaikan masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat secara langsung. Pola belajar ini menjadikan mahasiswa tergerak untuk belajar, melakukan kajian, diskusi dan curah pendapat untuk dapat menemukan solusi dari permasalahan tersebut. Selanjutnya pola belajar ini diikuti oleh berbagai program studi di Amerika, Eropa, Asia dan Australia dengan kajian terhadap masalah sesuai dengan studinya masing-masing.
Pembelajaran berbasis masalah (PBM) bersandar pada teori belajar kognitif-konstruktivistik. Vygotsky menekankan perhatiannya pada hakikat sosial dari pembelajaran. Dalam belajar, siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka berbicara dengan teman lain mengenai problemnya. Tidak satu pun dapat memecahkan masalah sendiri. Kerja kelompok membantu siswa pada suatu pemecahan, pengalaman mendengarkan ide orang lain, mencoba dan selanjutnya menerima balikan untuk pemecahan.
Berdasarkan pada beberapa pendapat tentang Pembelajaran Berbasis Masalah disimpulkan bahwa Pembelajaran Berbasis Masalah adalah kegiatan pembelajaran yang memfokuskan pada identifikasi serta pemecahan masalah nyata, praktis, kontekstual, berbentuk masalah yang strukturnya tidak jelas atau belum jelas solusinya (ill-structured) atau open ended yang ada dalam kehidupan siswa sebagai titik sentral kajian untuk dipecahkan melalui prosedur ilmiah dalam pembelajaran, yang kegiatannya biasanya dilaksanakan secara berkelompok.
Masalah yang dimaksudkan di sini adalah masalah-masalah yang ada dan dialami oleh siswa dalam kehidupan sehari-harinya, sesuai dengan substansi kompetensi dasar mata pelajaran masing-masing, misalnya masalah kenakalan remaja, pelanggaran disiplin, kepatuhan terhadap tata tertib, penyalahgunaan narkoba, pelanggaran norma, kemiskinan, perilaku sehat, komunikasi dengan sesama, mengekpresikan seni dan hobi, dan sebagainya.
Pembelajaran Berbasis Masalah menuntut siswa menggunakan pengetahuan yang dimilikinya untuk diimplementasikan, dipergunakan dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan sehari-harinya, mencari pengetahuan untuk menyelesaikan masalah serta mengembangkan sikap dan keterampilan intelektual untuk bekerjasama, berbagi, peduli, rasa ingin tahu, dan saling menghargai sesamanya.

D. PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK (PROJECT-BASED LEARNING)
Proyek adalah tugas yang kompleks, berdasarkan tema yang menantang, yang melibatkan siswa dalam mendesain, memecahkan masalah, mengambil keputusan, atau kegiatan investigasi; memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja dalam periode waktu yang telah dijadwalkan dalam menghasilkan produk (Thomas, Mergendoller, and Michaelson, 1999).
Proyek terurai menjadi beberapa jenis. Stoller (2006) mengemukakan tiga jenis proyek berdasarkan sifat dan urutan kegiatannya, yaitu: (1) proyek terstruktur, ditentukan dan diatur oleh guru dalam hal topik, bahan, metodologi, dan presentasi; (2) proyek tidak terstruktur didefinisikan terutama oleh siswa sendiri; (3) proyek semi-terstruktur yang didefinisikan dan diatur sebagian oleh guru dan sebagian oleh siswa.
Memperluas pengertian di atas Stoller (2006), mendefinisikan Pembelajaran Berbasis Proyek sebagai pembelajaran yang menggunakan Proyek sebagai media dalam proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Penekanan pembelajaran
terletak pada aktivitas-aktivitas siswa untuk menghasilkan produk dengan menerapkan keterampilan meneliti, menganalisis, membuat, sampai dengan mempresentasikan produk pembelajaran berdasarkan pengalaman nyata. Produk yang dimaksud adalah hasil Proyek berupa barang atau jasa dalam bentuk desain, skema, karya tulis, karya seni, karya teknologi/prakarya, dan lain-lain. Melalui penerapan Pembelajaran Berbasis Proyek, siswa akan berlatih merencanakan, melaksanakan kegiatan sesuai rencana dan menampilkan atau melaporkan hasil kegiatan.
Bentuk aktivitas proyek terdiri dari (1) Proyek produksi yang melibatkan penciptaan seperti buletin, video, program radio, poster, laporan tertulis, esai, foto, surat-surat, buku panduan, brosur, menu banquet, jadwal perjalanan, dan sebagainya; (2) Proyek kinerja seperti pementasan, presentasi lisan, pertunjukan teater, pameran makanan atau fashion show; (3) Proyek organisasi seperti pembentukan klub, kelompok diskusi, atau program-mitra percakapan. Lebih lanjut, menurut Fried-Booth (2002) ada dua jenis proyek yaitu (1) Proyek skala kecil atau sederhana yang hanya menghabiskan dua atau tiga pertemuan. Proyek ini hanya dilakukan di dalam kelas; (2) Proyek skala penuh yang membutuhkan kegiatan yang rumit di luar kelas untuk menyelesaikannya dengan rentang waktu lebih panjang.

E. PEMBELAJARAN KOOPERATIF
Kooperatif mempunyai arti “bersifat kerja sama” atau “bersedia membantu” (Depdiknas, 2008). Pembelajaran Kooperatif merupakan suatu model pembelajaran di mana siswa belajar dalam kelompokkelompok kecil (umumnya terdiri dari 4-5 orang siswa) dengan keanggotaan
yang heterogen (tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan suku/ras berbeda) (Arends, 2012). Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota saling bekerja sama dan membantu untuk memahami suatu bahan pembelajaran. Oleh karena itu, Pembelajaran Kooperatif perlu dikembangkan karena pada saat penerapan Pembelajaran Kooperatif siswa berlatih berbagai keterampilan kooperatif (keterampilan sosial) sesuai dengan tuntutan kompetensi pada Kurikulum 2013 yaitu kompetensi sikap sosial, selain kompetensi sikap spiritual, pengetahuan, dan keterampilan.
Agar pembelajaran terlaksana dengan baik, siswa harus diberi lembar kegiatan (LK), yang dapat berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok berlangsung, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan materi yang disajikan guru dan saling membantu teman sekelompok mencapai ketuntasan materi.
Pembelajaran Kooperatif memiliki lima variasi model yang dapat diterapkan, yaitu, yaitu Student Teams Achievement Divisions (STAD), Jigsaw, Group Investigation, Think Pair Share, Numbered Heads Together (Arends, 2012). Penjelasan lebih lanjut variasi-variasi model tersebut diuraikan pada bagian selanjutnya dalam panduan ini.

F. PEMBELAJARAN BERBASIS TEKS (TEXT- BASED INSTRUCTION/GENRE-
BASED INSTRUCTION)
Pembelajaran Berbasis Teks merupakan pembelajaran yang berorientasi pada kemampuan siswa untuk menyusun teks. Metode pembelajaran ini mendasarkan diri pada pemodelan teks dan analisis terhadap fitur-fiturnya secara eksplisit serta fokus pada hubungan antara teks dan konteks penggunaannya. Perancangan unit-unit pembelajarannya mengarahkan siswa agar mampu memahami dan memproduksi teks baik lisan maupun tulis dalam berbagai konteks. Untuk itu siswa perlu memahami fungsi sosial, struktur, dan fitur kebahasaan teks.
Dalam Pembelajaran Berbasis Teks guru mengenalkan teks dan tujuannya, serta fitur-fiturnya, dan membimbing siswa memproduksi teks melalui proses pemberian bantuan (scaffolding). Pembelajaran Berbasis Teks melibatkan proses di mana guru membantu siswa dalam memproduksi teks dan secara bertahap mengurangi bantuan tersebut sampai siswa mampu menproduksi teks sendiri. Pembelajaran diorganisasikan dengan menggunakan berbagai macam teks yang terkait dengan kebutuhan siswa, dan siswa diberikan latihan dalam berbagai macam teks sampai mereka mampu memproduksi teks tanpa bantuan dan bimbingan guru (Richards, 2015).
Istilah teks berasal dari bahasa Latin yang berarti menenun. Teks, menurut Halliday (1975), merupakan kesatuan makna. Sejalan dengan definisi Halliday, Christie dan Mason (1998) mendefinisikan teks sebagai kata-kata atau kalimat yang ditenun untuk menciptakan satu kesatuan yang utuh. Lebih lanjut, teks digambarkan sebagai bahasa yang diproduksi dan dipahami orang secara reseptif, apa yang dikatakan dan ditulis, dan dibaca dan didengar dalam kehidupan sehari-hari. Istilah teks mencakup baik teks lisan maupun tulis. Memperkuat definisi tersebut, mengutip pendapat Kress (1993) dan Eggin (1994), Emilia (2011) menyatakan bahwa teks merupakan satu kesatuan bahasa yang lengkap secara sosial dan kontekstual yang mungkin bisa dalam bentuk bahasa lisan maupun tulis.
Teks selalu dibuat dalam konteks. Kata konteks mengacu pada elemen-elemen yang menyertai teks (Christie dan Mason, 1998 dalam Emilia, 2011). Konteks memiliki peran yang sangat penting dalam penggunaan bahasa karena apa yang ditulis atau dikatakan sangat tergantung pada topik, kapan dan dalam kesempatan apa. Halliday (1976) membedakan dua konteks, yaitu konteks situasi dan konteks budaya. Keduanya berdampak pada penggunaan bahasa.
Konteks situasi mencakup tiga aspek, yaitu field, mode, dan tenor. Field mengacu pada topik atau kegiatan yang sedang berlangsung atau yang diceritakan dalam teks, atau apa yang terjadi. Tenor merupakan hakikat hubungan antara pengguna bahasa dalam satu konteks tertentu yang berkenaan dengan siapa penulis/pembicara kepada siapa. Tenor mengacu pada perangkat simbolik yang berfungsi untuk menunjukkan atau meniratkan hubungan penulis dengan pembacanya atau pembicara dengan penulisnya. Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan teman akrab berbeda dengan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan seseorang yang baru dikenal. Mode mengacu pada saluran komunikasi (channel of communication), pertimbangan apakah bahasa yang dipakai merupakan bahasa tulis atau bahasa lisan, jarak antara orang yang berkomunikasi dalam ruang dan waktu.
Ketiga unsur konteks situasi tersebut di atas disebut sebagai register. Sangat penting bagi  iswa untuk memahami topik (field) yang akan ditulis atau dibicarakan, kepada siapa (tenor) dia menulis atau berbicara, kapan dan apakah menggunakan bahasa tulis atau lisan (mode). Jenis konteks yang kedua adalah konteks budaya, yang disebut juga genre. Genre diartikan sebagai jenis teks (text type). Menyitir berbagai pendapat ahli, Emilia (2011) menyebutkan pengertian-pengertian genre.
Macken-Horarik (1997) menganggap teks sebagai konstruk sosial yang mempunyai struktur yang dapat diidentifikasi. Sebagai konstruk, struktur dan fungsi sosial teks dapat didekonstruksi. Oleh ahli lain, genre didefinisikan sebagai the ways we get things done through language –the ways we exchange information , and knowledge and interact socially (Callaghan, Knapp dan Knoble, 1993). Selanjutnya, genre oleh Martin, Christie, Rothery (1987), Christie (1991), dan Martin dan Rose (2008) didefinisikan sebagai proses sosial yang bertahap dan berorientasi pada tujuan.
Pembelajaran Berbasis Teks dilakukan pada satuan teks dengan tujuan untuk melaksanakan berbagai tindakan komunikatif secara bermakna, dengan menggunakan atau terkait dengan teks-teks yang bermanfaat bagi kehidupan peserta didik, secara reseptif dan produktif, secara lisan maupun tulis, di berbagai konteks yang relevan dengan kehidupan siswa, dalam bentuk kegiatan berbicara, menyimak, membaca, dan menulis yang terintegrasi secara alami dalam berbagai kegiatan komunikatif yang bermakna. Hal ini berarti bahwa teks dipelajari bukan sebagai sasaran akhir, tetapi sebagai alat untuk melakukan berbagai aktivitas terkait dengan dengan kehidupan nyata.
Penggunaan teks juga bertujuan untuk menumbuhkan sikap menghargai dan menghayati nilai-nilai agama dan sosial, termasuk perila ku jujur, disiplin, bertanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.

Artikel Terkait :

0 Response to "METODE-METODE PEMBELAJARAN"

Post a Comment